Makalah: DA'I
A. Latar Belakang
Berdakwah untuk menyeru manusia kepada kebaikan, jika disertai dengan penyimpangan perilaku para da’i, merupakan masalah yang akan menimbulkan keseimbangan dalam diri. Tidak hanya pada diri seorang da’i, tetapi juga terhadap dakwah. Hal inilah yang mengacaukan hati dan pikiran masyarakat karena mereka mendengar kata-kata yang indah tetapi menyaksikan perbuatan yang buruk. Saat itulah, mereka bingung untuk menilai ucapan dan perbuatan. Di satu sisi, di dalam jiwa mereka berkobar api yang semangat yang disulut oleh akidah, namun di sisi lain, cahaya hati yang bersumber dari keimanan meredup, lalu padam. Mereka tidak lagi percaya kepada agama setelah kehilangan kepercayaan kepada para da’i yang menyebarkannya.
Penyimpangan atas setiap prinsip, karakteristik khusus, dan semboyan dakwah akan menjadi bumerang yang akan menghancurkan dakwah itu sendiri dan membuat orang lain menjauhi serta meremehkan dakwah. Ini dapat terjadi karena mereka mendengar pernyataan-pernyataan yang manis dan indah dari para da’i namun menyaksikan perbuatan yang buruk dan tercela. Bagaimana mungkin masyarakat mau mengikuti orang-orang yang mengucapkan sesuatu dengan mulutnya, tetapi hatinya sendiri tidak yakin dengan apa yang diucapkannya. Dia menyuruh orang lain berbuat baik, tetapi dia sendiri tidak melakukannya.
Oleh karena itu, sangat dibutuhkan sikap tauladan yang baik dari para da’i yang akan menjadi contoh yang baik untuk para mad’unya. Sangat diharapkan siapapun yang akan menjadi seorang da’i hendaknya memiliki syarat-syarat yang akan dibahas dalam makalah ini agar masalah-masalah yang pernah terjadi di masa lalu tidak akan terulang kembali dan dapat memperbaiki akidah masyarakat banyak.
B. Rumusan Masalah
- Apa pengertian Da’i?
- Apa saja syarat-syarat Da’i?
- Bagaimana sifat-sifat Da’i?
- Bagaimana kompetensi Da’i?
C. Tujuan
- Untuk mengetahui pengertian Da’i.
- Untuk mengetahui apa saja syarat-syarat Da’i.
- Untuk mengetahui bagaimana sifat-sifat Da’i.
- Untuk mengetahui bagaimana kompetensi Da’i.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Da’i
Da’i yaitu pelaku atau subjek dalam kegiatan dakwah. Selain istilah da’i juga dikenal dengan sebutan muballigh atau muballighah. Da’i berarti orang yang mengajak, sedangkan muballigh adalah orang yang menyampaikan. Jadi, da’i adalah orang yang menyampaikan dan mengajak serta merubah sesuatu keadaan kepada yang lebih baik, berdasarkan indikasi yang digariskan oleh agama Islam (Abdullah, 2002:44).
Da’i adalah orang yang melaksanakan dakwah baik lisan, tulisan, maupun perbuatan yang dilakukan baik secara individu, kelompok, atau lewat organisasi/lembaga (Munir & Ilaihi, 2006).
Seorang da’i wajib baginya untuk mengetahui kandungan dakwah baik dari sisi akidah, syariah, maupun dari akhlak. Da’i juga harus mengetahui cara menyampaikan dakwah tentang Allah, alam semesta, dan kehidupan, serta apa yang dihadirkan dakwah adalah untuk memberikan solusi terhadap masalah yang dihadapi manusia, juga metode-metode yang dihadirkannya agar pemikiran dan perilaku manusia tidak salah dan tidak melenceng.
Dalam al-quran dan hadits.
اُدْعُ اِ لَى َسِبيلِ رَبِلكَ بِا لحِكمَةِ وَالمَوعِظَةِ الحَسَنَةِ وَ جَدِ لهُم بِا لَتِي هِيَ ا حسَنُ اِنَ رَبَكَ هُوَ اَعلَمُ بِمَن ضَلَ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ اَعلَمُ بِا لُمهتَدِ ىنَ
Artinya :
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat sari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(Q.S. An-Nahl:125).
2. Hadits riwayat Muslim dan Abu Hurairah
Artinya :
“Bersabda Nabi SAW : Barang siapa diantara kamu melihat suatu kemunkaran, maka hendaklah dia cegah dengan tangannya, maka jika tidak kuasa dengan lidahnya, maka jika tidak sanggup juga dengan hati, itulah dianya yang selemah-lemahnya iman”.
Berpedoman pada ayat-ayat dan hadits di atas dapat dikemukakan suatu defenisi bahwa juru dakwah itu ialah : setiap manusia muslim dan muslimah yang diberi tugas oleh Allah untuk mengajak orang lain kepada agama-Nya dengan persyaratan-persyaratan tertentu sesuai dengan daya mampunya masing-masing dan di tengah- tengah masyarakat dia berperan sebagai pelita yang menerangi (Zaidallah, 2005:37).
Untuk menjadi seorang da’i tentunya seseorang harus memiliki syarat-syarat tertentu apa ia layak dianggap sebagai da’i atau bukan. Dan, ini menjadi tantangan tersendiri seseorang yang akan menjadi seorang da’i atau pendakwah penyampai syi’ar Islam. Oleh karena itu seoarang da’i harus memenuhi kualifikasi atau syarat-syarat khusus agar proses dakwahnya sesuai dengan target yang akan dicapai.
Pertama, seorang da’i harus mempunyai pengetahuan yang mendalam tenntang Islam. Menjadi suatu keharusan bagi seorang dai’i untuk mendalami pengetahuan agama, baik masalah akidah, fikih, muamalah, dan berbagai aspek disiplin keagamaan mengetahui seluk-beluk ilmu agama sebelum terjun ke lapangan untuk dakwah. Sehingga seorang da’i akan dapat memberikan pemahaman tentang kesempurnaan agama Islam kepada si penerima dakwah.
Kedua, seorang da’i harus bisa menjadi teladan yang bauik bagi umat. Sebab, perilaku, aktivitas, akhlak, perkataan, dan perbuatan seorang da’i memiliki pengaruh yang signifikan terhadap umat. Banyak orang memiliki keluasan ilmu agama, tetapi pengetahuannya tidak digunakan untuk melakukan amar makruf dan bernahi mungkar. Pengetahuan yang seperti itu tak lebih dari sekadar pajangan yang tak bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Tipe orang seperti ini tak sukses dalam berdakwah.
Ketiga, seorang da’i harus memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. Banyak orang yang mempunyai pesan atau nasihat yang bagus, namun dalam cara penyampaiannya alias komunikasinya kurang lancar dan tepat. Oleh karena itu, kemampuan berkomunikasi secara baik dan benar adalah syarat yang tidak boleh diabaikan oleh para da’i.
Keempat, pengetahuan psikologis. Manusia adalah makhluk unik yang tidak bisa diprediksi kepribadiannya. Oleh krena itu, da’i sangat dituntut memahami ilmu psikolgi, terutama sekali psikolgi kepribadian dan psikolgi perkembanga. Dengan megetahui kondisi kejiwaan seseorang atau sebuah masyarakat, da’i akan lebih mudah memberikan solusi yang sesuai denag maslah yang dihadapi tersebut.
Kelima, seorang da’i harus benyali baja dimana saja berada. Siap bertugas dimana saja, kapan saja, sebagai apa, asal untuk kejayaan Islam (Mujahid, 2008:101).
Inilah yang seharusnya dimiliki seorang da’i pejuang penegak kebenaran. Tentunya seorang da’i harus memiliki mental yang kuat, semangat pantang menyerah serta tetap istiqomah dalam berdakwah.
Sifat-sifat yang harus dimiliki seorang da’i antara lain:
1. Sabar
Para da’i yang meyeru umatnya kejalan Allah sejatinya harus memiliki sifat penyabar. Sabar berarti mampu mengendalikan diri dari amanah, emosi, dan dendam. Sabar bukan berarti takut dan malu untuk melawan, namun lebih pada ketahanan mental seorang untuk menahan emosinya. Sifat ini sangat diperlukan bagi seorang da’i supaya tidak mudah terpancing emosi yang akan menjadikan tindak-tanduknya tidak terkontrol dan ceroboh.
Firman Allah Surah: Al-A’raf [7]: 199-200,
“Jadilah engkau pemaaf dan serulah orang-orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahu”.
Rasulullah saw dan para nabi-nabi lainnya sangat banyak mendapat rintangan ketika menjalankan dakwahnya. Tetapi setiap cobaan yang menghadang pun dapat mereka atasi dengan bijaksana, karena mereka mempunyai sifat penyabar dan pemaaf. Sekalipun dicaci dan diumpat, dan tak jarang mendapat kekerasan fisik dari kaumnya, para nabi memahami bahwa yang mengumpat dan yang mencaci adalah orang yang belum memperoleh hidayah. Maka, para nabi pun mendoakan mereka agar nanti nurani mereka dibukakan oleh Allah. Itulah keluhuran akhlak yang sejatinya harus dimiliki oleh para da’i sebagai pewaris para nabi.
2. Berhati-hati
Sifat ini harus dimilik oleh seorang da’i. Betapa banyak orang gagal dalam meraih tujuannya gara-gara ceroboh. Sukap berhati-hati bukan berarti lambat dalam merespon sebuah fenomena, bukan pula cepat dalam menggapai sebuah situasi. Berhati-hati berada diantara lambat dan cepat, karena harus terlebih dahulu memperjelas suatu perkara atau urusan tertentu secara teliti dan cermat.
Pada setiap perkara, Allah sangat menganjurkan manusia untuk selalu berhati-hati. Berhati-hati, baik dalam berbicara mauypun bersikap, merupakan akhlak yang mulia yang harus dimiliki oleh seorang da’i.
Dalam Q.S. Al-Hujurat [49] : 6, Allah mengingatkan,
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.
Ayat tersebut memerintahkan manusia untuk senantiasa berhati-hati dalam berkata dan berbuat. Artinya, apabila terdapat berita atau kabar baru, seorang da’i dituntut tidak segera menilai apakah penilaian itu bersifat pujian atau cacian sbelum mencermati dan meneliti kebenaran berita tersebut sedetail mungkin. Dengan mengetahui kebenaran sebuah berita secara terperinci, seoaang da’i akan dapat memberikan solusi sebauh masalah secara tepat dan benar.
Apabila seorang da’i sudah mengetahui kondisi kejiwaan dan lingkungan masyarakatnya, maka langkah yang harus dilakukan da’i selamjutnya adalah memperjelas materi dakwah yang akan disampaikan.
Hendaknya seorang d’i tidak menyampaikan materi dengan meragukan dan samar-samar. Seorang da’i harus tegas. Sebab, pada dasarnya risalah perbedaan antara hak dan yang bathil sudah jelas. Hanya saja, keberanian untuk menjelaskan dan mempertegas bahwa ini hak dan itu bathil, kadang tidak ada.
Bagi seorang da’i yang berharap dakwahnya berhasil secara maksimal, sifat tegas sangat penting untuk dimiliki. Tanpa sifat ini, keteguhan seorang da’i akan mudah goyah oleh godaan dan bujuk rayuan dari luar.
Sasaran da’i tidak hanya terbatas pada orang-orang yang mempunyai karakter lemah lembut, tapi juga dengan orang-orang yang berkarakter keras, sika membangkang, dan menantang. Seorang da’i dituntut untuk berbicara dengan jelas dan tegas.
4. Lemah Lembut
Seorang da’i harus memiliki sikap lemah lembut. Ini yang harus ditanamkan dalam diri seorang da’i, supaya dalm berdakwah mendapat kemudahan dan diterima oleh masyarakat. Dan, kemudian ia akan selalu disukai oleh masyarakat yang di dakwahinya.
Apabila seorang da’i berdakwah dengan jalan kekerasan, niscaya dakwahnya akan sia-sia dan tidak akan diterima dengan mudah oleh masyarakat. Semua bentuk kekerasan tidak dibenarkan dalam berdakwah. Sebab, agama Allah tegak di muka bumi tidak dengan paksaan.
Sebagaiman firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 256,
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut (Thagut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain Allah) dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.
Agama Islam tersebar ke seluruh penjuru bumi dengan jalan lemah lembut, bijaksana, kebajikan dalam bertindak, atau bahkan karena keindahan kitab Suci Al-Qur’an. Meskipun banyak jalan untuk menuju Tuhan, tapi sekali lagi perlu ditegaskan jalan kekerasan adalah jalan yang tidak pernah diperintahkan dalam berdakwah, kecuali jika mendapat ancaman yang membahayakan keberadaan agama Islam.
5. Pemberani
Dalam menjalankan dakwahnya, seorang da’i tidak selalu berada selalu berada pada situasi menyenangkan. Adakalnya seorang da’i menjumpai aral, rintangan, dan cobaan yang akan menggiringnya pada kondisi genting.
Seorang da’i harus tegar, tidak gentar, apalagi melembek apabila digertak atau diancam oleh para musuh-musuh kebenaran. Sifat pemberani adalah modal yang sangat diperlukan dalam berdakwah.
A. Hasjmy, mengatakan bahwa keimanan adalah sumber segala sifat-sifat baik. Dari keimanan, menjelma sifat-sifat ketaqwaan, keikhlasan, kebenaran, kasih sayang, kebersihan jiwa, dan keberanian. Artinya, sesuatu yang dapat memicu timbulnya sifat pemberani adalah keimanan itu sendiri.
Rendah hati adalah merendah, dalam artian tidahk menyombongkan diri, karena merasa dirinya lemah, tidak memiliki daya dan kekuatan apapun selain karena pertongan dan petunjuk Allah. Sehingga orang yang rendah hati lebih mengarah mengarah pada akhlak yang positif.
Oleh karena itu, sifat rendah hati sangat penting untuk dijadikan prinsip dalam berdakwah. Sifat rendah hati mengajarkan kesederhanaan dalam menjalani hidup.
Ikhlas adalah hakikat agama.
Sikap ikhlas adalah suatu sikap yang harus tertanam dalam diri seorang da’i. Dengan keikhlasan maka ia akan beradakwah dengan hati tanpa ada keterpaksaan. Ikhlas berdakwah semata-mata hanya mengharap ridho Allah.
Firman Allah dalam Surah Al-Bayyinah [98]: 5,
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus”.
Ayat di atas menegaskan, ikhlas adalah syarat sah agama Islam yang merupakan agama semua nabi. Ikhlas ialah kunci dakwah para Rasul dan prinsip teragung yang mereka ajarkan (Faisal, 2007: 18).
Sebagai seorang da’i harus memiliki sifat amanah karena ia harus menunaikan apa-apa yang dititipkan atau dipercayakan kepadanya.
Firman Allah dalam Surah An-Nisa [4]: 58,
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.
Sifat amanah ini maksudnya khusus dalam dakwah. Kita diberikan amanah untuk menyebarkan agama dimuka bumi ini.
Jujur merupakan salah satu kunci seorang da’i agar dakwahnya diterima. Karena semua perkataannya adalah mengandung nasihat dan manfaat bagi banyak orang. Apabila seorang berbohong dalam menyampaikan dakwahnya maka, dakwahnya tidak akan diterima dan ia akan menjadi olok-olokan masyarakat karena telah dianggap munafik, karena menyampaikan dakwahnya tidak sesuai.
Firman Allah dalam Surah At-Taubah [9]: 119,
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”.
Kejujuran adalah keutamaan di atas banyak keutamaan lain dan merupakan bagian inti manusia. Kejujuran ada pada perkataan, perbuatan, keyakinan, dan perbuatan. Kejujuran dalam perkataan adalah keselarasan antara ucapan dengan hati, sesuai dengan fakta, atau sesuai dengan hati dan fakta sekaligus.
D. Kompetensi Da’i
Kompetensi da’i diartikan sebagai syarat minimal yang harus dimiliki, mencakup pemahaman, pengetahuan, penghayatan, perilaku dan keterampilan dalam bidang dakwah. Dengan istilah lain kompetensi da’i merupakan gambaran ideal, sehingga memungkinkan ia memikul tanggung jawab dakwah sebagai penyambung lidah Rasulullah secara maksimal. Da’i yang berkualitas dan profesional serta mampu memberikan alternatif jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi umat sangat dibutuhkan masyarakat banyak terutama di zaman pasca modern atau era globalisasi saat ini. Kompetensi da’i yang diharapkan sekurang-kurangnya kompetensi substantif dan kompetensi metodologis (Abdullah, 2002:44).
1. Kompetensi Substantif
Kompetensi substantif menekankan pada keberadaan da’i dalam dimensi ideal dalam bidang pengetahuan, sehingga da’i mempunyai wawasan yang luas, baik wawasan keislaman, wawasan keilmuwan maupun wawasan nasional bahkan wawasan internasional serta bersikap dan bertingkah laku yang mencerminkan akhlak mulia sebagaimana diajarkan oleh al-quran. Hal-hal yang tercakup dalam kompetensi substantif diantaranya :
a. Penguasaan Ilmu Agama
Seorang da’i harus menguasai ilmu keislaman secara luas dan mendalam baik menyangkut tauhid, syari’ah (hukum), akhlak, pengetahuan umum dan bidang-bidang lainnya dikarenakan tugas seorang da’i sangatlah berat yakni mengajak, membimbing, dan membina umat agar beriman dan menata hidupnya sesuai dengan tuntunan Islam secara totalitas.
b. Penguasaan Ilmu Umum
Seorang da’i selain memiliki pengetahuan agama juga harus memiliki pengetahuan lainnya terutama ilmu yang digolongkan sebagai mitra ilmu dakwah seperti psikologi, sosiologi, ilmu komunikasi, retorika dan lain sebagainya. Semakin banyak pengetahuan seorang da’i maka semakin mudah pula dalam mengadakan pendekatan terhadap masyarakat.
c. Berakhlak Mulia
Da’i adalah agen perubahan sosial, penyeru kepada kebaikan dan kebenaran. Oleh karena itu seorang da’i haruslah berakhlak mulia dan menjadi tauladan dan panutan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Karena sesungguhnya dakwah akan sampai dengan bobot dan daya yang tajam apabila yang menyampaikannya mempunyai komitmen danistiqomah serta konsuken antara ucapan dan perbuatan.
Rasulullah SAW secara tegas bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya Rasulullah diutus oleh Allah didunia ini tak lain hanyalah untuk menyempurnakan (akhlak budi pekerti) yang mulia”. (Hadist Riwayat Ahmad). (Abdullah, 2002:46-49)
2. Kompetensi Metodologis
Kompetensi metodologis menekankan pada kemampuan praktis yang harus dimiliki seorang da’i dalam operasional dakwah atau pelaksanaannya. Kompetensi ini meliputi kemampuan merencanakan, menganalisa mad’u serta mampu mengidentifikasi masalah umat, baik melalui dialog lisan, tulisan maupun dengan dialog amal. Kompetensi metodologis lebih terfokus pada tingkat profesionalisme da’i.
Secara umum hal-hal yang tercakup dalam kompetensi metodologis adalah sebagai berikut :
- Memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi masalah dakwah seperti heterogenitas dari mad’u yang dihadapi.
- Kemampuan membuat perencanaan dalam kegiatan dakwah, salah satunya mempertimbangkan mengenai skala prioritas sesuai dengan agenda permasalahan dan kebutuhan dari mad’u.
- Memiliki kecakapan dalam mempersiapkan materi dakwah yang menuntut kemampuan untuk melihat dan menganalisa dan menyesuaikan materi dengan umat yang akan diseru.
- Memilki keahlian dalam menyampaikan ceramah untuk mengembangkan dan mendalami teori dan latihan secara terus-menerus.
BAB III
KESIMPULAN
Akhlak berasal dari bahasa Arab “akhlaq” yang merupakan bentuk jamak dari “khuluq”, atau akhlak juga berarti budi pekerti, tabia’at, watak. Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam diri seorang manusia sebagai pembeda antara manusia yang satu dengan lainnya.
Berdakwah adalah sebuah ajakan dan seruan, baik kepada diri sendiri maupun orang lain, untuk mengerjakan yang makruf dan mencegah yang mungkar. Akan tetapi sebelum kita mengakak orang lain untuk berbuat baik, kita harus meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaan kita terlebih dahulu. Sebab, seorang da’i akan selalu menjadi panutan umat.
Akhlak yang harus dimiliki seorang da’i antara lain:
- Sabar
- Berhati-hati
- Tegas
- Lemah lembut
- Pemberani
- Rendah hati
- Ikhlas
- Amanah
- Jujur
Daftar Pustaka
Abdullah. 2002. Wawasan Dakwah. Medan: IAIN Press.
Faishal bin Ali Al-Ba’dani. 2007. Ikhlas, Sulitkah?. Solo: Aqwam.
Mujahid. M Salbu. 2008. Indahnya Jalan Dakwah. Yogyakarta: MS Publishing.
Munir & Wahyu. 2006. Manajemen Dakwah. Cet.IV. Z
aidallah, Alwisral Imam. 2005. Strategi Dakwah. Jakarta: Kalam Mulia.
Komentar
Posting Komentar